Ahad, 15 Mac 2009

Dyslexia In The Prison Population

By Dr. Kathryn Currier Moody.

This is the year that the American prison population topped its own record at 2 million inmates. That fact is both costly and sad. It costs about $35,000 per year to keep an individual in prison. Few inmates would describe themselves as happy, and the majority can’t read adequately.
We could prevent so many people from landing in prison if we would first examine the education they receive (or don’t receive) early on. More precisely, we must insure that all children learn how to read. We need to re-design the early education of those who do not respond to routine reading instruction because of an inborn condition called dyslexia.
While the prevalence of dyslexia in the general population is about 20%, the prevalence of dyslexia in prisoners is more than twice that, or 48% according to a scientific study my colleagues and I, conducted at the University of Texas Medical Branch in conjunction with the Texas Department of Criminal Justice (published 2000).
But treatments for the condition are now well known and should be integrated into the childhood education of individuals with dyslexia BEFORE they have a chance to fail and be stigmatized by a condition for which they are not at all responsible. If that window of opportunity passes, and the individual drops out of school or winds up in prison, as many do.
Dyslexia is not just another disability, especially not in a world so extensively based on being able to read. As experts have pointed out, if you can’t read, you can’t make it in life. Lots of young people aren’t making it.
Suffering because of dyslexia occurs not only in grade school and every later experience in education, but also in nearly all aspects of commerce, government and most other components of modern life. People who can’t read are ashamed to be discovered, not least because they might lose their job and be stigmatized for future employment.
Being unable to read is so embarrassing that it is carefully concealed, sometimes with incredible ingenuity and persistent vigilance. Paradoxically, there have been in recent times several widely publicized “coming out of the closet” cases by immensely successful businessmen in their 6th and 7th decades of life who chose to reveal their dyslexia, apparently to raise public awareness of the problem they faced and how they coped with it.
In the past, being unable to read was not always shaming or demoralizing. Before printing was made easy by Johannes Gutenberg’s revolutionary invention of printing with moveable type, the tedium was practiced almost exclusively in scriptoria of religious institutions or by private scribes for royalty and other wealthy citizens; understandably there were few books, they were expensive and their use was regulated. The masses were not expected to read and often were discouraged from trying or even punished when found out trying.
The immense value of Gutenberg’s printing press was quickly recognized all over the world and within a very few years books became more available. The innovation led to massive transformation of society. Princes of the church and of royalty were no longer among the few who could read, learn, think and know the content of books which had often been secret and sometimes even used to subdue the masses.
But although printing and reading swept much of the so-called advanced civilizations of the world, it also introduced a new form of disadvantage for those who couldn’t learn to read, preferring their old methods of communication and structuring their social and community lives and livelihood around communication which did not require reading.
In 21st Century America reading is essential. Those who don’t read adequately fall behind or fall out of school. They are called, unfairly, “dumb, stupid or lazy.” All too often they end up in prison because they don’t “fit” with the school.
We know plenty about dyslexia and the teaching of reading to those who have dyslexia. The correct use and application of this knowledge could reduce the prison population as well as our tax bills, while doing the humane deed of enriching lives of learners. #
Dr. Kathryn Currier Moody was director of the dyslexia program and member of the Department of Neurology at the University of Texas Medical Branch at Galveston while she served as principal investigator of the dyslexia study in Texas prisons (2000). For a reprint of the published study contact Dr. Moody at katem7@optonline.net.

HATI YANG MATI

Jangan mati sebelum mati tetapi jadi lah orang yang sentiasa hidup disisi Allah SWT. Sabda Rasulullah s.a.w "Perumpamaan orang yang ingat akan Allah dengan orang yang tidak ingat akan Allah seperti hidup dan mati?"(HR. Bukhari dan Muslim).Mati mustahil boleh terjadi dua kali pada insan selama hidup di dunia ini. Namun ada sebahagian manusia yang mati hatinya sebelum jasad berpisah dengan nyawa. Sebagai dikatakan dalam hadits di atas, hati menjadi mati karena tidak mengingat Allah. Orang yang lupakan Allah diibarat tanaman yang kekeringan tanpa disirami. Keringnya tanaman tanpa air begitulah keringnya jasad tanpa ingat kepada Allah. Demikianlah betapa ramai yang mati sebelum mati apabila dia lupakan Allah.Hati yang mati dapat dikenali. Sandaran hati yang mati selalu pada harta benda. Sehingga ia akan mudah kecewa dan berputus asa ketika harapannya untuk mendapatkan sesuatu tidak berhasil sepenuhnya atau memperolehi separuh apalagi gagal mandapatkannya. Sedangkan hati yang hidup akan selalu mengingat bahawa Allah pernah berfirman tentang akan diujinya manusia dengan berbagai kekurangan harta benda. Lalu kesabaran menjadi sandaran hidup bagi insan yang hidup hatinya . Tujuannya, untuk menguji sejauhmana kekuatan iman seseorang. Namun hati yang mati jauh dari ayat ayat Allah, sandaran hati yang mati cuma pada dunia semata-mata. Mereka sangat jauh dari ayat-ayat Allah.Hati yang mati tidak meninggalkan bau tetapi empunya diri sangat beruntung jika dapat menyedari hatinya telah mati. Sebab, masih ada kesempatan untuk menghidup kembali. Menghidupkan hati yang mati memerlukan kesabaran dan ketekunan kita dalam menyiraminya setiap waktu. Allah berjanji akan membantu hambanya kerana Allah berjanji akan menerima taubat setiap hambaNya, meskipun dosa dosanya sudah memenuhi langit dan bumi.Maha Suci Allah dengan segala Kebesarannya, hidupkan hati-hati kami untuk terus mendekatiMu. Jadikan hati-hati kami terus subur dengan siraman Hidayah Mu.

Sabtu, 14 Mac 2009

Dari Swiss Garden Sandakan

Assalamualaikum dan salam sejahtera. Apa khabar semua pendokong pendidikan khas. Semalam saya bertemu dan mengeratkan lagi silaturrahim dengan keluarga baru pencinta pendidikan khas. Seramai 96 orang guru dari Sandakan, Kinabatangan ,Beluran dan beberapa tempat lagi yang sukar diingat nama tempatnya. Sehari saya menyampaikan ceramah,motivasi, bengkel dan soal jawab menjurus kepada Disleksia dan Pendidikan pemulihan Khas. Dapat juga dikesan kedapatan guru-guru yang tidak pernah mendengar perkataan disleksia dan gugur juga setitis dua air mata kekesalan akibat salah mendidik disebabkan kekurangan ilmu dalam bidang ini. Terkejut juga saya apabila guru-guru pendidikan khas di sini yang masih belum mengetahui peranan NGO seperti Pemulihan Dalam Komuniti ( PDK ). Ini menyebabkan ada anak-anak murid pendidikan khas yang tidak boleh mengurus diri masih berada dikelas mereka. Mungkin pendedahan dan kolaborasi tentang peranan antara satu sama lain tidak didedahkan. Bagi saya program kali ini adalah langkah pengenalan dan kursus-kursus berterusan mengenai pendidikan khas yang mencakupi beberapa kategori kecacatan lain perlu diadakan. Jemputan-jemputan lisan dari beberapa buah sekolah untuk sekali lagi saya hadir menggambarkan betapa mereka dahagakan ilmu khususnya dalam pendidikan khas. Sekejap lagi saya akan chek out dari Swiss Garden ini untuk ke Airport Sandakan. Flight jam 2.00 petang menuju ke KK untuk transit sebelum meneruskan perjalanan ke KLIA pada jam 7.15 malam nanti. Meskipun saya jangka untuk sampai di Ipoh sekitar jam 5.00 pagi esok tetapi kuliah untuk anak didik Pendidikan Khas OUM pada jam 8.00 pagi akan tetap diteruskan. Semuanya kerana demi cinta ini kepada Pendidikan Khas.

Khamis, 12 Mac 2009

IPIP,KK N SANDAKAN DEMI PKHAS

Assalamualaikum dan Salam sejahtera. Dah lama juga saya tak menulis di blog demi cinta ini. Mungkin agak sibuk dengan beberapa undangan berceramah berkaitan dengan pendidikan khas. Sekembali dari Pulau Tioman, bergegas pula untuk program konvokesyen di Putrajaya. Sempat juga saya bertemu dengan anak didik yang hadir untuk berkonvo. Pelbagai pengalaman yang diceritakan terutama bagi mereka yang dipostingkan ke pedalaman Sabah dan Sarawak. Tiada keluh kesah malah kecerian yang terpancar menceritakan betapa mereka semakin diulit kegembiraan di bumi di Bawah Bayu dan Kenyalang . Putri dan Syatirah semakin fasih berbahasa Iban. 11 haribulan saya mendapat panggilan dari IPIP untuk satu ceramah disleksia dan pemulihan bagi guru-guru di Sandakan anjuran IPGM kampus Tawau. Atas arahan tugas saya pulang dari Putrajaya dan sempat berkuliah dengan siswa siswi pendidikan khas yang dah lama tak bersua muka. Kumpulan ini baru sahaja pulang dari PBS dan tentunya sisi kuliah petang semalam dijadikan medan untuk bermuhasabah dan refleksi. Kagum juga dengan mereka yang semakin menunjukkan minat terhadap Pendidikan Khas. Habis kuliah terus bersiap dan bertolak ke KLIA. Subuh tadi terbang dari KLIA dan sekarang ni transit di KKinabalu. Lebih kurang sejam lagi belon ke Sandakan sedia berlepas. OK.. Buat semua pencinta pendidikan khas salam Demi Cinta Ini buat anda..